Keizalinnews.web.id|Bener Meriah -: 19 Juni 2025 — Polemik terkait perizinan Pemanfaatan Hutan (PBPH) yang diberikan kepada PT Aksara terus menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan. Perusahaan yang bergerak di bidang budidaya kelapa sawit ini mengantongi izin pemanfaatan lahan di Kecamatan Mesidah dan Kecamatan Syiah Utama, Kabupaten Bener Meriah—wilayah yang selama ini dikenal sebagai zona penting konservasi dan ekowisata.
Kekhawatiran publik mencuat karena pengurusan izin yang dinilai minim partisipasi masyarakat dan dikhawatirkan memicu konflik sosial, mengingat masih banyak warga setempat yang belum memiliki akses terhadap lahan produktif. Selain itu, keberadaan PT Aksara dinilai berpotensi mengganggu kawasan strategis seperti Air Terjun Tujuh Bidadari, destinasi wisata andalan yang memiliki kontribusi penting terhadap potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Bener Meriah.
“Kalau hutan di sekitar air terjun rusak, aliran air bisa terganggu, dan itu bukan cuma masalah lingkungan. Dampaknya bisa langsung terasa ke sektor ekonomi masyarakat,” ujar Sinar Harapan, seorang aktivis lingkungan.
Tak hanya menyuarakan ancaman ekologis, para aktivis dan tokoh adat juga mengangkat isu keterbukaan informasi. Sejumlah warga menyatakan tidak pernah dilibatkan dalam proses konsultasi publik atas rencana kerja PT Aksara. Kurangnya transparansi ini menimbulkan ketidakpercayaan yang dapat memicu ketegangan horizontal antarwarga dan antara masyarakat dengan perusahaan.
Desakan pun dilayangkan kepada Pemerintah Kabupaten Bener Meriah dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia agar segera mengevaluasi kembali izin PBPH yang telah diterbitkan. Pemerintah dinilai harus menjamin bahwa aktivitas pemanfaatan hutan tidak melanggar kepentingan masyarakat adat, merusak kelestarian lingkungan, maupun mengancam potensi ekonomi dari sektor lain seperti pariwisata dan pertanian rakyat.
Hingga berita ini dirilis, pihak PT Aksara belum memberikan tanggapan resmi atas berbagai tudingan dan kekhawatiran masyarakat, dengan alasan masih terbatasnya saluran komunikasi. Sementara itu, para pegiat lingkungan dan tokoh adat setempat menegaskan komitmen mereka untuk terus mengawal persoalan ini agar tidak berkembang menjadi konflik sosial yang lebih dalam, serta untuk mencegah kerusakan ekologis yang sulit dipulihkan.”-(rel)