Keizalinnews.web.id|Redelong-:Penetapan empat pulau Aceh Singkil yakni, Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan dan Panjang sebagai wilayah Sumatera Utara (Sumut) menuai berbagai kritikan.
Kritikan itu bukan hanya datang dari pejabat di Aceh, tapi aktivis disejumlah kampus juga ikut bersuara, mesti mereka bukan penduduk asli warga Aceh.
Konflik lahan muncul setelah Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian putuskan, empat pulau itu bagian dari wilayah administratif Sumut.
Furkan, Aktivis Serikat Mahasiswa Nasional Indonesia (SMNI) mengecam Kemendagri yang mensahkan empat pulau di Aceh masuk kedalam wilayah administrasi Sumatera Utara.
Keputusan ini tertuang dalam keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor: 300.2.2-2138/2025 tertanggal 25 April 2025, yang menetapkan Pulau Lipan, Pulau Panjang, Mangkir Besar, dan Mangkir Kecil, masuk ke dalam wilayah administratif Sumatera Utara.
Bagi Furkan, keputusan tersebut merupakan bentuk pencaplokan yang tidak sah dan mencederai keadilan hukum serta sejarah panjang wilayah Aceh.
Padahal Aceh, memiliki bukti sejarah serta dokumen resmi atas kepemilikan pulau tersebut.
“Contoh kecil, di empat pulau itu bukan tanah kosong. Di sana ada musalla, dermaga, kebun, hingga makam warga Aceh yang ditemukan oleh tim Kemendagri pada 2022,” katanya.
Maka menurut furkan, Pemerintah Aceh, wajib memperjuangkan status empat pulau di Singkil yang masuk wilayah Sumut ini.
Karena dasar hukum yang mengatur batas wilayah Aceh sudah sangat jelas, yakni Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Provinsi Aceh, yang berlaku sejak 1 Juli 1956.
Dalam aturan tersebut, batas wilayah Aceh telah ditetapkan dan tidak dapat diubah hanya dengan keputusan menteri.
“Bahkan dikawasan tersebut sudah ada pembangunan infrastruktur menggunakan anggaran APBD Aceh sejak 2007,” ungkapnya.
“Maka kita menyarankan Pemerintah Aceh harus segera jemput kembali 4 pulau di Singkil yang Dialihkan ke Sumut tersebut,”
Menurutnya lagi, putusan Menteri Dalam Negeri tentang batas pulau ini jelas melanggar ketentuan konstitusional.
Begitu juga akibat tersebut telah merusak semangat otonomi khusus Aceh dan berpotensi mengganggu stabilitas perdamaian yang dibangun atas dasar kepercayaan.
“Maka kita mengingatkan pemerintah pusat agar tidak mengusik stabilitas Aceh. Kita semua tahu, Aceh dan pemerintah pusat memiliki sejarah kelam yang penuh luka dan air mata.
Jangan biarkan kebijakan sepihak hari ini membuka kembali luka lama yang telah kami rawat dengan susah payah demi perdamaian. Jangan biarkan sejarah kelam itu terulang hanya karena abainya pemerintah terhadap rasa keadilan rakyat Aceh,” demikian harapnya.”-(rel)